Ngomongin tentang film, saya termasuk orang yang hobby banget nonton. Koleksi film saya di hardisk sampai saat ini berjumlah 512 film dengan berbagai genre dari mulai film Drama sampai Biografi dan Dokumenter. Jumlah itupun sudah saya sortir dan sensor sehingga semuanya merupakan koleksi pilihan. Sementara itu, jumlah film lokalpun hanya 19 buah saja.
Beberapa hari yang lalu, seperti biasanya kalo nemu komputer punya orang, pasti deh pengen tukeran data. Kali ini saya mencoba melirik koleksi film keponakan saya yang “doyan banget” film horror. Dah wahhh.., koleksi filmnya serem-serem 😀 Karena enggan disebut “west-sentris” atau sok barat, akhirnya saya ambil juga deh koleksi filmnya, lagipula daripada gak dapet apa-apa (habis isi filmnya setan semuaahahahhaa..). Berikut sebagian judul filmnya:
- Si Manis Jembatan Ancol
- Sundel Bolong
- Pocong
- Air Terjun Pengantin
- Arwah Goyang Karawang (JuPe vs DePe)
- Dedemit Gunung Kidul
- Dendam Pocong Mupeng
- Film Horror
- Hantu Tanah Kusir
- Kereta Hantu Manggarai
- Lawang Sewu
- Pocong Mandi Goyang Pinggul
- Pocong Ngesot
- Rintihan Kuntilanak Perawan
- Setan Kepala Buntung
- Suster Keramas
Huffthh.., inilah gambaran perfilman di negeri kita. Hantu, setan, dedemit, pocong, kuntilanak dan lain-lainnya menjadi “korban kambing hitam kekurangkreatifan” sineas kita sekaligus objek exploitasi yang terang-terangan sudah melanggar kode etik “kesetanan”. Betapa tidak, setelah saya tonton semua film-film tersebut, para hantu seperti kehilangan wibawa dan kurang angker akibat garapan dan pemetaan karakter yang terlalu “disepelekan”. Hehehhee.., mungkin inilah sisi positifnya, karena akrab di mata hantu jadi tidak menakutkan lagi.
Kembali ke topik, mungkin tidak salah jika tren film di negeri kita saat ini adalah film horror. Namun yang menjadi masalah adalah kualitas film itu sendiri. Saya pribadi setidaknya melihat dua kekurangan yang paling menonjol, dari alur cerita dan penggarapan yang kurang serius.
Alur Cerita
Hampir setiap orang menyukai film, dari mulai anak kecil, remaja, hingga dewasa. Layaknya lagu dan nyanyian yang merupakan hiburan alami yang melekat pada diri setiap orang sebagai tanda alamiah akan kebahagiaan, kesedihan, kesepian dan lain-lain. Sebuah film juga memiliki kekuatan yang sama, bahkan lebih. Kekuatan tersebut adalah “cerita”, setiap orang suka dengan cerita seperti halnya bernyanyi. Manusia dibekali dengan pendengaran, penglihatan dan perasaan. Setiap orang memiliki rasa ingin tahu, penasaran, terkesan dengan sesuatu yang baru, sesuatu yang aneh, sesuatu yang tidak biasa dilihat sehari-hari, maka alur sebuah cerita yang bagus, indah, dan menarik mampu memuaskan sifat ini.
Okelah kalo tren saat ini berkutat tentang hantu-hantuan, tapi tetap disayangkan cerita yang dihadirkan terkesan sepele, asal-asalan dan membodohi penonton (yang sudah cerdas). Sebuah film tidak harus logis, karakter di dalamnyapun tidak harus “buruk rupa” atau menakutkan, tapi cerita yang baik mampu menakuti penonton tidak hanya dari sisi visual, namun secara psikologis jauh lebih kena! Di sinilah kekuatan cerita, sayangnya “kebanyakan” sineas kita melupakan hal ini dan lebih cenderung komersil dengan sedikit cerita, costume studio pinjaman dan artis murah dengan harapan meraup keuntungan besar dengan modal sedikit.
Penggarapan yang Kurang Serius
Berbicara mengenai penggarapan, tentunya hal ini mencakup banyak hal. Maka jangan bandingkan perfilman di Indonesia dengan film Holywood, JIKA film yang dibuat bertemakan sci-fi (fiksi ilmiah) atau sejenisnya yang membutuhkan teknologi tinggi dan bermodal besar. Namun pertanyaannya, adakah film Indonesia yang bergenre tersebut? Sepertinya belum ada, maka sesungguhnya tidak ada alasan film dengan tren genre sekarang “kekurangan modal“. Banyak pula kok film-film nasional yang bermutu, sebut saja Ketika Cinta Bertasbih, Ayat-ayat Cinta, Daun di atas Bantal, atau Gie. Bahkan ada pula film-film yang meraih penghargaan di tingkat Asia (Donny Damara dalam The Raid), Pirate Brother yang masuk nominasi dalam HIFF (Houston International Film Festival), serta ada pula film Indoesia yang diputar di Cannes (Lewat Djam Malam). Itu semua sudah cukup menjadi bukti bahwa sebuah film jika digarap dengan serius dan apik dapat berhasil baik di pasaran (secara komersil) maupun sebagai social messenger.
Kenyataannya, perfilman Indonesia saat ini masih didominasi oleh film-film yang hanya mengejar keuntungan komersil semata (Ingat Prinsip Dasar Ekonomi). Dan poster seram wajah hantu adalah gambaran tepat potret perkembangan industri film di negeri ini. Hal ini juga tidak lain disebabkan oleh buruknya mindset dan kreativitas para produser dan sineas yang terlalu profit oriented dengan kualitas film asal jadi. Tema film dengan cerita sederhana, garapan kejar tayang, serta aktor/ aktris amatir yang numpang ikut tenar. Kekuatan film yang ditampilkanpun hanya berkutat dalam adegan erotis, sensual, atau penampakkan sang hantu.
Inilah gambaran luas perkembangan negeri ini, segala sesuatu dijalankan tanpa keseriusan, kurang dedikasi dan tanggung jawab. Semuanya dijalankan karena keegoisan dan kepentingan pribadi dengan mengesampingkan harapan rakyat yang dari hari ke hari semakin dewasa. Para sineas bekerja hanya demi profit, para pejabat bekerja demi jabatan sampai berani korup, bahkan dalam sepakbola pun dipolitisasi dan dijadikan objek keuntungan pihak-pihak tertentu yang berkepentingan.
Apalah daya.., saya hanya bisa berpendapat (sedikit mengeluh), saya tidak memiliki kekuasaan untuk merubah negeri ini. Namun bagi siapapun yang sadar dan punya semangat untuk lebih baik, maka dedikasikanlah apapun yang kita geluti saat ini untuk kemajuan bersama. Negeri ini semakin dewasa, kebutuhannyapun akan semakin besar, rakyatnyapun sudah lebih cerdas, maka jangan bodohi kami dengan keserakahan dan egoisme pribadi. Berikan kami lebih, dengan sendirinya kita bangun bangsa ini dengan lebih baik pula. Kalo kata orang sunda mah “Hirup teh maju ka kolot, kudu beuki bener”. hallah ngomong apa sih ini, hehe…